Sunday, August 2, 2015

PERAN VITAL KELUARGA DALAM PENDIDIKAN ANAK



ABSTRAK: Pendidikan merupakan suatu kebutuhan bagi semua orang, terutama bagi anak. Pendidikan tidak hanya berlangsung disekolah saja, namun juga dikeluarga dan masyarakat.  Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Sebagian besar kehidupan seorang anak dihabiskan didalam keluarga. Karakter anak juga bisa terbentuk dengan baik apabila orangtua dapat mendidik anaknya secara optimal. Bisa dipastikan bahwa keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap pendidikan seorang anak.
Kata Kunci : Keluarga, pendidikan, anak

Dewasa ini, tidak sedikit anak-anak maupun remaja yang telah mengalami degradasi dalam hal nilai moral pendidikan. Banyak fenomena-fenomena kecil maupun besar yang terjadi akhir-akhir ini seperti tawuran antar pelajar, konsumsi narkoba, pelecehan seksual, pemerkosaan, sering bolos sekolah, membentuk geng-geng pelajar dan sebagainya. Fenomena-fenomena seperti itulah yang saat ini menjadi PR bagi pemerintah, lembaga pendidikan serta guru untuk secepatnya dapat mengatasi masalah tersebut.
Sebenarnya tidak hanya lingkungan pendidikan formal (sekolah dan guru) saja yang memikul beban tersebut, namun lingkungan pendidikan informal (keluarga) juga harus ikut berperan dalam mendidik anaknya, selain tentunya juga lingkungan masyarakat. Kerjasama yang baik dari sekolah, keluarga dan masyarakat tentunya dibutuhkan untuk mengubah para pelajar atau anak-anak agar memiliki nilai moral yang baik dan berpendidikan.
Berbicara mengenai keluarga, memang tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan keluarga menjadi titik vital dalam perjalanan pendidikan seorang anak. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena seorang anak mendapatkan pendidikan dan bimbingan pertama kali itu adalah didalam keluarga. Dan dikatakan lagi bahwa keluarga adalah lingkungan yang terutama karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah didalam keluarga. Keluargalah yang mengenalkan kehidupan ini kepada seorang anak. Sehingga sudah sepatutnya bahwa keluarga juga harus bertanggung jawab dalam pendidikan anak tersebut.

Pengertian keluarga
Keluarga berasal dari bahasa sansekerta yaitu “kulawarga” ; “ras” dan “warga” yang berarti “anggota” ; adalah lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab diantara individu tersebut. Menurut M.Zainuddin (2014), keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Celis dalam Oka Widiawan (2010) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, dihidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Menurut Salvicion dan Ara Celis dalam Oka Widiawan (2010) : Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat dalam keluarga adalah sebagai berikut ayah sebagai suami dari istri dananak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompoksosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dar peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakatdari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
Ada beberapa macam fungsi keluarga, salah satunya adalah fungsi pendidikan yaitu menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk anak sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya, mempersiapkan anak untuk kehidupan yang akan datang dan mempersiapkan anak untuk memenuhi perannya sebagai orang dewasa, serta mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Hakikat pendidikan
Pendidikan merupakan sebuah kata yang tidak asing lagi di dunia ini, karena pendidikan merupakan elemen atau kegiatan yang penting yang dilakukan hampir seluruh lapisan masyarakat. Pengertian Pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.
Ada beberapa pendapat menurut para ahli  dalam Muhammad Risal (2012), mengenai pendidikan ini yaitu menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
John Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
Hal senada juga dikemukakan oleh Edgar Dalle bahwa Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang.
Thompson mengungkapkan bahwa Pendidikan adalah pengaruh lingkungan terhadap individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap dalam kebiasaan perilaku, pikiran dan sifatnya. Ditegaskan oleh M.J. Longeveled bahwa Pendidikan merupakan usaha , pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak agar tertuju kepada kedewasaannya, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
Ibnu Muqaffa (salah seorang tokoh bangsa Arab yang hidup tahun 106 H- 143 H, pengarang Kitab Kalilah dan Daminah) mengatakan bahwa : “Pendidikan itu ialah yang kita butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan akal dan rohani.” Plato (filosof Yunani yang hidup dari tahun 429 SM-346 M) menjelaskan bahwa Pendidikan itu ialah membantu perkembangan masing-masing dari jasmani dan akal dengan sesuatu yang memungkinkan tercapainya kesemurnaan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan mengenai pendidikan, bahwa pendidikan merupakan bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain, atau dengan kata lain pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia.

Karakter anak
Membentuk karakter, merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Untuk itu, ia melihat tiga pihak yang mempunyai peran penting. Yakni, keluarga, sekolah, dan komunitas.
Dalam pembentukan karakter,  ada tiga hal  antara lain: Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik.
Kedua, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau berbohong. `’Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan,'’
Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Tuhan dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasi sayang, kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan. Karakter baik ini harus dipelihara.
Anak tak hanya merekam materi yang masuk. Tapi juga yang lebih dipercaya, yang lebih menyenangkan, dan yang berlangsung terus-menerus. Saat anak sudah memasuki dunia sekolah, anak biasanya lebih percaya pada guru.
Dalam berkomunikasi, orang tua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun berkomentar.
Ada enam fase kritis, yang dilalui anak hingga menjadi dewasa. Orang tua dan guru hendaknya memahaminya sebagai suatu yang normal. untuk menandai dan menyikapi fase-fase pertumbuhan anaknya mulai dari balita, usia TK, usia SD, usia SMP, usia SMA, hingga usia kuliah.
Pada anak usia balita memiliki ciri-ciri seperti merasa selalu benar, memaksakan kehendak, tidak mau berbagi. Peran orang tua yang harus dilakukan adalah memberikan kesempatan anak beberapa detik untuk berkuasa, memberikan kesempatan beberapa detik untuk memiliki secara penuh, memperkenalkan pada arti boleh dan tidak boleh dengan menggunakan ekspresi wajah, konsisten dan jangan menggunakan kekerasan baik suara maupun fisik.
Pada anak usia TK memiliki ciri-ciri seperti konflik adaptatif, imitatif, berbagi, dan mau mengalah. Ketiga sifat terakhir ini karena anak ingin diterima dalam kelompok. Orang tua harus berperan sesuai dengan karakter anak TK tersebut seperti memberi kesempatan untuk memerhatikan, mencoba, dan bekerja sama, memperhatikan dan luruskan perilaku imitatif yang cenderung negative, mendukung anak untuk bisa berbagi dan mengalah.
Anak usia SD masuk ke dalam masa operasional konkret, dimana anak tersebut masih berpikir secara konkret, bukan abstrak. Ciri-cirinya adalah  anak ingin mendapat pengakuan diri. Karena itu, ciri-ciri utamanya punya pendapat berbeda, penampilan berbeda, gaya bicara berbeda, dan hobinya pun berbeda.
Peran orang tua adalah dengan menghargai pendapatnya dan jangan menyalahkan, ajaklah dialog logika dan pengalaman, pujilah hal-hal yang baik dari penampilannya, bantulah dengan kalimat positif untuk bisa tampil lebih baik lagi, jangan langsung menyela gaya bicaranya, bangun ketertarikan dan bantulah dia untuk bisa lebih punya gaya bicara yang menarik.
Anak usia SMP memiliki ciri-ciri anak memasuki persaingan. Karena itu anak mengalami konflik antarpersonal, konflik antarkelompok, dan konflik sosial.
Peran orang tua yang sebaiknya dilakukan adalah meningkatkan proses kedekatan dengan anak melalui dialog dan berbagai cara, menjadi pendengar yang baik dan bukan menjadi hakim, jangan pernah menyela pembicaraan dan cerianya, jangan beri komentar atau nasihat sebelum tiba waktunya.

Pentingnya pendidikan dalam keluarga
Kepedulian tentang perkembangan manusia didalam kehidupan keluarga Indonesia, dengan konsep yang bersifat komprehensif telah dimulai beberapa decade yang lalu, melalui berbagai usaha peningkatan pengetahuan, kesadaran, ketrampilan, dan sikap anggota keluarga secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan semua aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Perkembangan manusia dalam interaksi dengan lingkungan keluarga melalui berbagai media dan sarana fisik nonfisik menuntut suatu konsep yang strategis oleh karena manusia merupakan sumber daya yang paling esensial bagi pembangunan bangsa. Menurut Conny R. Semiawan (2009), pembangunan bangsa itu seyogyanya bersumber dari dan dimulai dari rumah, didalam kehidupan keluarga, karena dirumahlah seyogyanya secara timbal balik ditumbuhkan kepedulian, kesadaran, dan pengertian dasar tentang totalitas lingkungan.
Atas dasar tersebut, maka amatlah penting bahwa pendidikan dan interaksi dalam keluarga menjadi salah satu kepedulian dalam pembangunan bangsa. Berbagai upaya kearah itu tidak dapat dilihat terlepas dari situasi dan kondisi politik, sosial dan budaya yang berkembang dengan perubahan masyarakat kita. Namun, dengan menuntut pemahaman terhadap pertumbuhan anak manusia dengan berbagai kebutuhannya. Manusia belajar, tumbuh dan berkembang dari pengalaman yang diperolehnya melalui kehidupan keluarga, untuk sampai pada penemuan bagaimana ia menempatkan dirinya kedalam keseluruhan kehidupan tempat ia berada.
Pendidikan dalam keluarga adalah tanggungjawab orang tua, dengan peran Ibu lebih banyak. Karena Ayah biasanya pergi bekerja dan kurang ada di rumah, maka hubungan Ibu dan anak lebih menonjol. Meskipun peran Ayah juga amat penting, terutama sebagai tauladan dan pemberi pedoman. Kalau anak sudah mendekat dewasa peran Ayah sebagai penasehat juga penting, karena dapat memberikan aspek berbeda dari yang diberikan Ibu. Oleh karena hubungan Ayah dan anak terbatas waktunya, terutama di hari kerja, maka Ayah harus mengusahakan agar pada hari libur memberikan waktu lebih banyak untuk bersama dengan anak.
Jika penghasilan keluarga tergantung pada penghasilan Ayah yang kurang memadai untuk kehidupan keluarga dapat menimbulkan persoalan pendidikan yang tidak sedikit. Ada pendapat berbeda tentang pendidikan dalam keluarga, yaitu tentang pemberian kebebasan kepada anak. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya sejak permulaan diberikan kebebasan maksimal kepada anak. Dalam hal ini faktor pendidikan kepada anak sudah berakhir sebelum anak itu dewasa. Dalam kenyataan terbukti bahwa keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat menghasilkan pribadi-pribadi anak yang menjadi baik. Pendidikan dalam keluarga dapat memberikan pengaruh besar terhadap karakter anak. Sebab itu kunci utama untuk menjadikan pribadi anak menjadi baik yang terutama terletak dalam pendidikan dalam keluarga.
Karakter yang ditumbuhkan adalah faktor yang amat penting dalam kepribadian anak, karena banyak mempengaruhi prestasi dalam berbagai bidang. Ilmu pengetahuan dan kemampuan teknik adalah penting untuk pencapaian keberhasilan, tetapi tidak akan mampu mencapai hasil maksimal kalau tidak disertai karakter. Hal itu terutama karena pada waktu ini faktor karakter kurang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan. Ini semua harus menjadi salah satu hasil penting usaha pendidikan, baik pendidikan dalam keluarga, pendidikan sekolah maupun pendidikan dalam masyarakat. Akan tetapi karena pendidikan pada anak paling dulu dilmulai dalam pendidikan dalam keluarga, maka pendidikan dalam keluarga yang seharusnya memberikan dasar yang kemudian diperkuat dan dilengkapi dalam pendidikan sekolah dan pendidikan dalam masyarakat.
Akhirnya memang tergantung pada para orang tua sendiri apakah pedoman itu dilaksanakan atau tidak. Akan tetapi karena secara alamiah orang tua ingin anaknya menjadi baik dan sukses, maka banyak kemungkinan orang tua akan berusaha menerapkan pedoman itu dalam hidup mereka.
Jadi, belajar yang terjadi dalam interaksi dengan keluarga itu adalah penyesuaian diri pada lingkungan, dalam hal ini terutama lingkungan keluarga, dan adaptasi pada situasi baru dengan kemungkinan memodifikasinya. Pada manusia yang belajar ia menimbulkan tingkah laku baru, yang mungkin juga bisa menjadikan lingkungan berubah.
Interaksi dan komunikasi dengan lingkungan keluarga inilah pada hakikatnya yang ikut menentukan arah dari perkembangan anak, yaitu peluang keserasian belajar pada setiap masa peka. Umpamanya pada bayi umur 0-2 tahun: kepekaan utama terletak dalam latihan alat indra, motoric, dan perluasan perkembangan bahasanya. Setiap pengalaman langsung dihayatinya sebagai pengalaman yang amat mendalam (peak experience), dan sangat berpengaruh terhadap kesan dan sikap kehidupan anak kelak (terutama pada umur 3-5 tahun), yaitu suatu penyesuaian diri yang bersikap aktif dan selektif.

Lingkungan keluarga dan motivasi belajar
Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang berpengaruh terhadap perilaku dalam perkembangan anak. Tujuan pendidikan secara universal adalah agar anak menjadi mandiri, bukan hanya dapat mencari nafkahnya sendiri,tapi juga bisa mengarahkan dirinya pada keputusannya sendiri untuk mengembangkan semua kemampuan fisik, mental, sosial dan emosional yang dimilikinya, sehingga dapat mengembangkan suatu kehidupan yang sehat dan produkif.
Motivasi belajar adalah sesuatu yang diperoleh dan dibentuk oleh lingkungan, serta merupakan landasan yang mendorong anak untuk tumbuh, berkembang, dan maju dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Fungsi – fungsi dasar seperti kehidupan nalar (rasio), kehidupan perasaan, keterampilan psikomotorik maupun intuisinya, yaitu suatu kondisi kesadaran yang dilandasi ketidaksadarannya.
Penyatuan fungsi- fungsi tersebut akan menumbuhkan kemampuan kreatif anak untuk menempuh hidup dengan kemampuan motivasi yang terarah. Untuk itu dalam lingkungan rumah harus diciptakan kondisi yang kondusif bagi anak, yaitu suasana yang demokratis yang terbuka, saling menyayangi, dan saling memercayai. Komunikasi dua arah antara orang tua dan anak sangat penting dibangun bagi perkembangan anak. Dengan landasan inilah anak akan berkembang menjadi pribadi yang harmonis, yaitu anak lebih peka terhadap kebutuhan dan tuntutan lingkungan, dan lebih sadar akan tujuan hidupnya, sehingga menjadi lebih termotivasi dan lebih yakin dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Lingkungan sekolah, terutama lingkungan rumah dan keluarga sebaiknya memiliki kepekaan terhadap berbagai kebutuhan dan kekuatan yang sifatnya eksternal maupun internal yang tidak membatasi dan berbagai kemungkinan subjek didik untuk berkembang. Oleh karena itu lingkungan rumah dan keluarga sebaiknya menghayati apa yang dialami oleh subjek didik dan dapat “membaca” pikiran, perasaan, dan kebutuhannya.
Sarana belajar juga dianggap sebagai salah satu prasyarat motivasi belajar, meskipun bukan menjadi suatu ukuran mutlak untuk perwujudan peningkatan motivasi belajar. Tentu saja, sarana fisik dapat berguna bagi peningkatan motivasi belajar, apabila dimanfaatkan secara efektif. Suatu lingkungan keluarga baru dapat dikatakan berusaha memenuhi tuntutan motivasi belajar, apabila keluarga tersebut dapat mengadakan lingkungan yang kaya stimulasi mental dan intelektual, dengan mengusahakan suatu suasana dan sarana belajar yang memberikan kesempatan kepada anak secara spontan dapat menyatakan dan memerhatikan diri terhadap berbagai kejadian di dalam lingkungannya.

Tipe pola asuh orangtua dan dampaknya bagi pendidikan
Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah  mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Menurut Tarmuji dalam Ahmiranil Khaerat (2012), Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknyayang berbeda-beda, karena orangtua mempunyai pola pengasuhan tertentu.
            Tipe pola asuh terdiri dari dua dimensi yaitu Directive behavior dan Supportive Behavior. Directive Behavior melibatkan komunikasi searah dimana orangtua menguraikan peran anak dan memberithau anak apa yang mereka lakukan dimana, kapan, dan bagaimana melakukan suatu tugas. Menurut Shochib  dalam Ahmiranil Khaerat (2012), Supportive Behavior melibatkan komunikasi dua arah dimana orang tua mendengarkan anak, memberikan dorongan, membesarkan hati, memberikan teguran positif dan membantu mengarahkan perilaku anak.
Pendidikan dalam keluarga perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya dengan mengetahui dan mencari pola asuh yang tepat bagi anak-anaknya, antara lain :
a.       Pola Asuh Otoritative (Otoriter)
Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku, dictator, dan memaksa anak untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orangtua tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anaknya. Ciri-ciri dari pola asuh otoriter adalah anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah, orang tua cenderung mencari keslahan-kesalahn anak dan kemudian menghukumnya, orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak, jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang, orang tua cenderung memaksakan disiplin. orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana, tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak.
Pola asuh seperti itu tentunya memiliki dampak bagi pendidikan anak khususnya dalam belajar. Beberapa dampak tersebut adalah anak menjadi tidak percaya diri, kurang spontan, ragu-ragu dan pasif, serta memiliki masalah konsentrasi dalam belajar, anak menjalankan tugas-tugasnya hanya karena takut hukuman, disekolah, memiliki kecenderunagn berperilaku anti social, agresif , impulsive dan perilaku mal adatif lainnya, anak perempuan cenderung menjadi dependen, anak merasa tidak bahagia, tidak terlatih untuk beriinisiatif, selalu tegang, cenderung ragu, anak tidak mampu menyelesaikan permasalahan atau problem solving-nya kurang.
b.      Pola asuh autoritatif (demokratis)
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan kewajiban orangtua dan anak adalah sama dalam artian saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perialakunya sendiri agar dapat berdisiplin. Menurut shochib (dalam Ahmiranil Khaerat,2012) orangtua yang menerapkan pola suh demokratis banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan tersendiri dalam hokum untuk menegembangkan kedisiplinan. Pola asuh demokratis dihubungkan dengan tingkah laku anak-anak yang memperlihatkan emosional positif, social, dan pengembangan kognitif.
Ciri-ciri dari pola asuh demokratis diantaranya adalah menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alas an-alasan yang diterima, memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar ditinggalkan, memberikan bimbingan dengan penuh perhatian, dapat menciptakan keharmonisan keluarga, dapat menciptakan suasana komunikatif antar orangtua dan anak serta sesama keluarga.
Pola asuh demokratis juga memiliki dampak bagi pendidikan si anak, diantaranya adalah anak lebih mandiri,tegas terhadap diri sendri dan memiliki kemampuan introspeksi serta pengendalian diri, mudah bekerjasama dengan oranglain dan kooperatif terhadap aturan, lebih percaya diri akan kemampuannya menyelesaikan tuga-tugas, merasa aman dan menyukai serta semangat dalam tugas-tigas belajar, memiliki keterampilan social yang baik dan terampil menyelesaikan permasalahan, tampak lebih kreatif dan memiliki motivasi berprestasi.
c.       Pola Asuh permissive (Pemanjaan)
Segala sesuatu terpusat pada kepentingan anak, dan orangtua/prngasuh tidak berani menegur, takut anak menangis dan khawatir anak kecewa. Terkadang orang tua melakukan segala hal yang diinginkan oleh anaknya tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi terhadap anak tersebut. Ciri-ciri pola asuh permissive (pemanjaan) adalah adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya, anak terkadang egois.
Pola asuh yang lebih terkesan memanjakan si anak ini tentunya juga memiliki efek bagi pendidikan atau belajar anak yaitu anak menjadi tanpak responsive dalalm belajar, namun kurang matang (manja), impulsive dan mementingkan diri sendri, kurang percaya diri (cengeng) dan mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau kesuliatan dalam tugas-tugasnya, tidak jarang perilakunya disekolah menjadi agresif.
d.      Pola Asuh Indulgent (penelantaran)
Pola asuh seperti ini sendiri menelantarkan anak secara psikis, kuarang memperhatikan perkembangan si anak, anak dibiarkan berkembang sendiri tanpa megawasi perkembangan anak, orangtua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri karena kesibukan. Kata laissez faire berasal dari Bahasa Perancis yang berarti membiarkan (leave alone). Dalam istilah pendidikan, laissez faire adalah suatu sistem dimana si pendidik menganut kebijaksanaan non interference (tidak ikut campur).
            Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai mahluk hidup berpribadi bebas, anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat sesuai dari hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menemukan sendiri apa yang diinginkannya . kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh-tak acuh terhadap anaknya.
Pola asuh yang seperti ini tentunya akan menimbulkan karakter yang kurang baik pada anak. Anak akan bersifat nakal, lemah, tergantung dan bersifat kekanak-kanakan, acuh tak acuh atau cuek terhadap segala hal yang menyangkut tentang dirinya. Dengan kondisi dan situasi seperti itu tentunya juga akan berdampak bagi pendidikan atau perilaku belajar anak. Anak dengan pola asuh ini paling potensial terlibat dalam kenakalan remaja seperti penggunaan narkoba, merokok diusia dini dan tindak kriminal lainnya, memiliki sikap impulsive dan agresif serta kurang mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas atau kegiatan, serta anak memiliki daya tahan terhadap frustrasi dan stres yang cukup rendah.

Peran orangtua dalam Pendidikan Anak
Peran keluarga terhadap pendidikan mungkin tidak terlalu signifikan bagi sebagian anak, namun jika direnungkan lebih dalam, siapa saja akan bisa merasakan betapa berat peran yang disandang keluarga. Betapa tidak banyak anak yang mengalami tindakan penyimpangan akibat tidak adanya penaungan, bimbingan, dan himbauan dari keluarganya. Didalam keluarga tercermin jalinan kasih cinta dalam ikatan emosional, darah dan kekerabatn yang sangat mendominasi.
Keluarga bisa diibaratkan seperti percetakan, akan menjadi apa hasil cetak tersebut sesuai dengan percetakannya, begitu pula dengan keluarga akan menjadi apa seorang anak kelak sesuai dari hasil asuhan keluarganya. Sebagian orang secara tidak sadar mengatakan bahwa sebenarnya peran keluarga adalah sekunder, alias hanya sebagai pelengkap saja. Sebab pengetahuan formal telah didapatkan dibangku sekolah. Logika ini tidak saja keliru secara etis, Tapi juga patut dipertanyakan pula pandangan moralnya terhadap keluarga. Faktanya, keluarga justru merupakan institusi pendidikan pertama dan utama, kemudian baru dilengkapi dengan nilai-nilai pengetahuan yang didapatkan dari bangku sekolah.
Peran orang tua dalam menyukseskan pendidikan anaknya antara lain dengan tidak melakukan tindakan pengekang terhadap anaknya. Hal ini dikarenakan anak kita bukanlah kita akan tetapi anak telah memiliki dunianya sendiri. Orangtua hanya perlu melakukan pengarahan dan pengawasan terhadap anak.
            Pada fase remaja, anak akan membutuhkan pengarahan dan pertimbangan dari kedua orangtuanya untuk masalah kelanjutan pendidikannya. Disinilah orangtua perlu berperan dalam pemilihan tempat pendidikan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan kepribadian anaknya tanpa perlu pemaksaan kehendak kepada anak. Dari beberapa referensi yang kami dapatkan maka kami akan mengelompokkan beberapa fungsi atau implikasi keluarga/orangtua dalam mendukung pendidikan anak disekolah.
            Keluarga memiliki fungsi dalam mendukung pendidikan seorang anak. Fungsi keluarga/orangtua dalam mengdukung pendidikan anak adalah (1) Orangtua dapat bekerjasama dengan pihak sekolah untuk membantu proses perkembangan anak, (2) Sikap anak terhadap sekolah sangat dipengaruhi oleh sikap orangtua terhadap sekolah, sehingga sangat dibutuhkan kepercayaan orangtua terhadap sekolah yang menggantikan tugasnya selama disekolah, (3) Orangtua bekerjasama dengan guru untuk mengatasi kesulitan belajar anak, (4) Orang tua harus memperhatikan sekolah anaknya, yaitu dengan memperhatikan pengalaman-pengalamannya dan menghargai segala usahanya, (5) Orangtua bersama anak mempersiapkan jenjang pendidikan yang akan diikuti oleh anak dan mendampingi selama menjalani proses belajar dilembaga pendidikan.
            Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut secara maksimal, orangtua harus memiliki kualitas diri yang memadai, sehingga anak-anak akan berkembang sesuai dengan harapan. Artinya orangtua memahami hakikat dan peran mereka sebagai orang tua dalam membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu tentang pola pengasuhan yang tepat pengetahuan tentang pendidikan yang dijalani anak, dan ilmu tentang perkembangan anak, sehingga tidak salah dalam menerapkan suatu bentuk pola pendidikan terutama dalam pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Dirumah atau didalam keluarga, anak berinteraksi dengan orang tua (pembantu orang tua) dan segenap anggota keluarga lainnya. Ia memperoleh pendidikan informal, berupa pembentukan pembiasaan-pembiasaan (habit formations), seperti cara makan, tidur, bangun pagi, gosok gigi, mandi, berpakaian, tatakrama, sopansantun, religi, dan lain sebagainya. Pendidikan informal dalam keluarga akan banyak membantu dalam meletakkan dasar pembentukan kepribadian anak. misalnya sikap religious, displin, lembut atau kasar, rapi, rajin, penghemat atau pemboros, dan sebagainya dapat tumbuh, bersemi, dan berkembang senada dan seirama dengan kebiasaannya dirumah.

Kesimpulan
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga berperan penting dalam perkembangan pendidikan seorang anak. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena seorang anak mendapatkan pendidikan dan bimbingan pertama kali itu adalah didalam keluarga. Lingkungan keluarga juga adalah lingkungan yang terutama karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah didalam keluarga.
Karakter yang berbeda-beda pada setiap anak membutuhkan perhatian dan bimbingan dari orangtuanya atau keluarganya. Keluarga yang memberikan cukup perhatian pada anaknya, khususnya pada dunia pendidikan tentunya akan menimbulkan motivasi belajar yang tingg pada diri anak. Pola pengasuhan yang tepat juga berpengaruh pada sikap anak terutama dalam belajar. Macam-macam pola pengasuhan anak adalah otoriter, demokratis, pemanjaan dan penelantaran. Masing-masing dari pola tersebut memiliki dampak terhadap perilaku belajar anak.

Saran
            Keluarga terutama orangtua sebaiknya dapat menerapkan pola pengasuhan yang baik bagi anak-anaknya, karena itu akan berdampak pada pendidikan anak tersebut. Orangtua harus dapat menciptakan suasana yang baik didalam rumah, khususnya untuk belajar anak. Bimbingan dan pengarahan dari orangtua harus selalu dilakukan agar anak dapat memperoleh pendidikan secara optimal di lingkungan keluarga.








Daftar Rujukan

Khaerat, Ahmiranil. 2012. Pola Asuh Orangtua dan Implikasinya terhadap Pendidikan, (Online), (http://ratuwithlovelygirl.blogspot.com/2012/03/pola-asuh-orangtua-dan-implikasinya.html), diakses tanggal 18 Maret 2015

Risal, Muhammad. 2012. Pengertian Pendidikan, (Online), (http://www.artikelbagus.com/2012/11/pengertian-pendidikan.html#), diakses tanggal 18 Maret 2015

Semiawan, Conny R. 2009. Penerapan Pembelajaran pada Anak. Jakarta : Indeks

Widiawan, Oka. 2010. Pengertian Keluarga Dan Fungsinya, (Online), (http://iokaw.blogspot.com/2010/12/pengertian-keluarga-dan-fungsinya.html), diakses tanggal 16 Maret 2015

Zainuddin, M. 2014. Sosiologi-Antropologi Pendidikan. Blitar : Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang

No comments:

Post a Comment