Dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru mungkin akan
dihadapkan dengan puluhan atau bahkan ratusan peserta didiknya, dengan
masing-masing karakateristik yang dimilikinya.
Di antara sekian banyak karakteristik yang dimiliki
peserta didik, yang penting dan perlu diketahui guru adalah berkenaan dengan
kecakapan dan kepribadian peserta didiknya.Dari segi kecepatan belajar, ada
peserta didik yang menunjukkan cepat dalam menangkap pelajaran, namun sebaliknya
ada juga yang sangat lambat. Dari segi kepribadian, guru akan berhadapan dengan
ciri-ciri kepribadian para peserta didiknyanya yang khas atau unik.
Berhadapan dengan peserta didik yang memiliki
kecepatan belajar dan memiliki ciri-ciri kepribadian yang positif, guru mungkin
akan menganggap seolah-olah tidak ada hambatan. Namun ketika berhadapan dengan
peserta didik yang lambat dalam belajar atau ciri-ciri kepribadian yang
negatif, adakalanya guru dibuat frustrasi. Ujung-ujungnya dia langsung saja
akan menyimpulkan bahwa peserta didiklah yang salah. Peserta didik dianggap
kurang rajin, bodoh, malas, kurang sungguh-sungguh dan sebagainya.
Jika saja guru tersebut dapat memahami tentang
keragaman individu, belum tentu dia akan langsung menarik kesimpulan bahwa
peserta didiklah yang salah. Terlebih dahulu mungkin dia akan mempelajari latar
belakang sosio-psikologis peserta didiknya, sehingga akan diketahui secara
akurat kenapa peserta didik itu lambat dalam belajar, selanjutnya dia berusaha
untuk menemukan solusinya dan menetukan tindakan apa yang paling mungkin bisa
dilakukan agar peserta didik tersebut dapat mengembangkan perilaku dan
pribadinya secara optimal.
Membicarakan tentang keragaman individu secara luas
dan mendalam sebetulnya sudah merupakan kajian tersendiri yaitu dalam bidang Psikologi
Diferensial. Untuk kepentingan pengetahuan guru dalam memahami peserta
didiknya, di bawah ini akan diuraikan dua jenis keragaman individu yaitu
keragaman dalam kecakapan dan kepribadian.
1. Keragaman
Individu dalam Kecakapan
Kecakapan individu dapat dibagi kedalam dua bagian
yaitu kecakapan nyata (actual ability) dan kecakapan potensial (potential
ability).
Kecakapan nyata (actual ability) yaitu
kecakapan yang diperoleh melalui belajar (achivement atau prestasi), yang
dapat segera didemonstrasikan dan diuji sekarang. Misalkan, setelah selesai
mengikuti proses perkuliahan (kegiatan tatap muka di kelas), pada akhir
perkuliahan mahasiswa diuji oleh dosen tentang materi yang disampaikannya (tes
formatif). Ketika mahasiswa mampu menjawab dengan baik tentang pertanyaan
dosen, maka kemampuan tersebut merupakan atau kecakapan nyata (achievement).
Sedangkan kecakapan potensial merupakan aspek
kecakapan yang masih terkandung dalam diri individu dan diperoleh dari faktor
keturunan (herediter). Kecakapan potensial dapat dibagi ke dalam dua
bagian yaitu kecakapan dasar umum (inteligensi atau kecerdasan)
dan kecakapan dasar khusus (bakat atau aptitudes).
C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian inteligensi
sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru
secara cepat dan efektif.
Pada awalnya teori inteligensi masih bersifat
unidimensional (kecerdasan tunggal), yakni hanya berhubungan dengan aspek
intelektual saja, seperti teori inteligensi yang dikemukakan oleh Charles
Spearman (1904) dengan teori “Two Factors”-nya. Menurut pendapatnya
bahwa inteligensi terdiri dari kemampuan umum yang diberi kode “g” (genaral
factor) dan kemampuan khusus yang diberi kode “s” (specific
factor).
Selanjutnya, Thurstone (1938) mengemukakan teori “Primary
Mental Abilities”, bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan
primer, yaitu : (1) kemampuan berbahasa (verbal comprehension); (2)
kemampuan mengingat (memory); (3) kemampuan nalar atau berfikir (reasoning);
(4) kemampuan tilikan ruangan (spatial factor); (5) kemampuan bilangan (numerical
ability); (6) kemampuan menggunakan kata-kata (word fluency); dan
(7) kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat (perceptual speed).
Sementara itu, J.P. Guilford mengemukakan bahwa inteligensi
dapat dilihat dari tiga kategori dasar atau “faces of intellect”, yaitu:
a. Operasi
Mental (Proses Befikir)
1) Cognition (menyimpan
informasi yang lama dan menemukan informasi yang baru).
2) Memory
Retention (ingatan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari).
3) Memory
Recording (ingatan yang segera).
4) Divergent
Production (berfikir melebar=banyak kemungkinan jawaban/ alternatif).
5) Convergent
Production (berfikir memusat= hanya satu kemungkinan jawaban/alternatif).
6) Evaluation (mengambil
keputusan tentang apakah suatu itu baik, akurat, atau memadai).
b. Content (Isi
yang Dipikirkan)
1) Visual
(bentuk konkret atau gambaran).
2) Auditory.
3) Word Meaning
(semantic).
4) Symbolic
(informasi dalam bentuk lambang, kata-kata atau angka dan notasi musik).
5) Behavioral (interaksi
non verbal yang diperoleh melalui penginderaan, ekspresi muka atau suara).
c. Product
(Hasil Berfikir)
1) Unit (item
tunggal informasi).
2) Kelas
(kelompok item yang memiliki sifat-sifat yang sama).
3) Relasi
(keterkaitan antar informasi).
4) Sistem
(kompleksitas bagian saling berhubungan).
5) Transformasi
(perubahan, modifikasi, atau redefinisi informasi).
6) Implikasi
(informasi yang merupakan saran dari informasi item lain).
Belakangan ini banyak orang menggugat tentang
kecerdasan intelektual (unidimensional), yang konon dianggap sebagai anugerah
yang dapat mengantarkan kesuksesan hidup seseorang. Pertanyaan muncul,
bagaimana dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Mozart dan Bethoven dengan
karya-karya musiknya yang mengagumkan, atau Maradona dan Pele sang legenda
sepakbola dunia,. Apakah mereka termasuk juga orang-orang yang genius atau
cerdas ? Dalam teori kecerdasan tunggal (uni-dimensional), kemampuan mereka
yang demikian hebat ternyata tidak terakomodasikan. Maka muncullah, teori
inteligensi yang berusaha mengakomodir kemampuan-kemampuan individu yang tidak
hanya berkenaan dengan aspek intelektual saja. Dalam hal ini, Howard Gardner
(1993), mengemukakan teori Multiple Inteligence, dengan aspek-aspeknya
sebagai tampak dalam tabel di bawah ini :
INTELIGENSI
|
KEMAMPUAN INTI
|
1. Logical – Mathematical
|
Kepekaan dan kemampuan untuk
mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan untuk berfikir
rasional.
|
2. Linguistic
|
Kepekaan terhadap suara, ritme,
makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa.
|
3. Musical
|
Kemampuan untuk menghasilkan dan
mengapresiasikan ritme. Nada dan bentuk-bentuk ekspresi musik.
|
4. Spatial
|
Kemampuan mempersepsi dunia
ruang-visual secara akurat dan melakukan tranformasi persepsi tersebut.
|
5. Bodily Kinesthetic
|
Kemampuan untuk mengontrol gerakan
tubuh dan mengenai objek-objek secara terampil.
|
6. Interpersonal
|
Kemampuan untuk mengamati dan
merespons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain.
|
7. Intrapersonal
|
Kemampuan untuk memahami perasaan,
kekuatan dan kelemahan serta inteligensi sendiri.
|
Kecakapan potensial seseorang hanya dapat dideteksi
dengan mengidentifikasi indikator-indikatornya. Jika kita perhatikan penjelasan
tentang aspek-aspek inteligensi dari teori-teori inteligensi di atas, maka pada
dasarnya indikator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan
(waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai dengan yang
diharapkan) dan kemudahan (tanpa menghadapi hambatan dan kesulitan yang
berarti) dalam bertindak.
Dengan indikator-indikator perilaku inteligensi
tersebut, para ahli mengembangkan instrumen-instrumen standar untuk mengukur
perkiraan kecakapan umum (kecerdasan) dan kecakapan khusus (bakat) seseorang.
Alat ukur inteligensi yang paling dikenal dan banyak digunakan di Indonesia
ialah Tes Binet Simon -- walaupun sebetulnya menurut hemat penulis alat
ukur tersebut masih terbatas untuk mengukur inteligensi atau bakat persekolahan
(scholastic aptitude), belum dapat mengukur aspek – aspek inteligensi
secara keseluruhan (multiple inteligence). Selain itu, ada juga tes
intelegensi yang bersifat lintas budaya yaitu Tes Progressive Metrices
(PM) yang dikembangkan oleh Raven.
Dari hasil pengukuran inteligensi tersebut dapat
diketahui seberapa besar tingkat integensi (biasa disebut IQ = Intelligent
Quotient yaitu ukuran kecerdasan dikaitkan dengan usia seseorang.
Rumus yang biasa digunakan untuk menghitung IQ
seseorang adalah :
MA (Mental Age)
IQ=
100 x
CA (Chronological Age)
|
|
|
|
Di bawah ini disajikan norma ukuran kecerdasan
dikaitkan dengan usia seseorang.
IQ
|
KATEGORI
|
PERSENTASE
|
> 140
|
Jenius
(Genius)
|
0.25 %
|
130-139
|
Sangat
Unggul (Very Superior)
|
0.75 %
|
120-129
|
Unggul
(Superior)
|
6 %
|
110-119
|
Diatas
rata-rata (High Average)
|
13 %
|
90-109
|
Rata-rata
(Average)
|
60 %
|
80 - 89
|
Dibawah
Rata-Rata (Low Average)
|
13 %
|
70 - 79
|
Bodoh
(Dull)
|
6 %
|
50 - 69
|
Debil
(Moron)
|
0.75 %
|
25 - 49
|
Imbecil
|
0.20 %
|
<>
|
Idiot
|
0.05 %
|
Selain menggunakan instrumen standar, seorang guru
pada dasarnya dapat pula mendeteksi dan memperkirakan inteligensi peserta
didiknya, melalui pengamatan yang sistematis tentang indikator – indikator
kecerdasan yang dimiliki para peserta didiknya, yaitu dengan cara memperhatikan
kecenderungan kecepatan ketepatan, dan kemudahan peserta
didik dalam dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dan mengerjakan
soal-soal pada saat ulangan atau ujian, sehingga pada akhirnya akan diketahui
kelompok peserta didik yang tergolong cepat (upper group), rata-rata (midle
group) dan lambat (lower group) dalam belajarnya.
Untuk mengukur bakat seseorang, dapat menggunakan
beberapa instrumen standar, diantaranya : DAT (Differential Aptitude Test),
SRA-PMA (Science Research Action – Primary Mental Ability), FACT (Flanagan
Aptitude Calassification Test).
Alat tes ini dapat mengungkap tentang : (1) pemahaman
kata; (2) kefasihan mengungkapkan kata; (3) pemahaman bilangan; (4) tilikan
ruangan; (5) daya ingat; (6) kecepatan pengamatan; (7) berfikir logis; dan (8)
kecakapan gerak.
Perlu dicatat bahwa pengukuran tersebut, baik
menggunakan instrumen standar atau hanya berdasarkan pengamatan sistematis guru
bukanlah bersifat memastikan tingkat kecerdasan atau bakat seseorang namun
hanya sekedar memperkirakan (prediksi) saja, untuk kepentingan pengembangan
diri. Begitu juga kecerdasan atau bakat seseorang bukanlah satu-satunya faktor
yang menentukan tingkat keberhasilan atau kesuksesan hidup seseorang.
Dalam rangka Program Percepatan Belajar (Accelerated
Learning), Balitbang Depdiknas (1986) telah mengidentifikasi ciri-ciri
keberbakatan peserta didik dilihat dari aspek kecerdasan, kreativitas dan
komitmen terhadap tugas, yaitu:
a. Lancar
berbahasa (mampu mengutarakan pikirannya);
b. Memiliki
rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan;
c. Memiliki
kemampuan yang tinggi dalam berfikir logis dan kritis
d. Mampu
belajar/bekerja secara mandiri;
e. Ulet menghadapi
kesulitan (tidak lekas putus asa);
f. Mempunyai
tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atau perbuatannya
g. Cermat atau
teliti dalam mengamati;
h. Memiliki
kemampuan memikirkan beberapa macam pemecahan masalah;
i. Mempunyai
minat luas;
j. Mempunyai
daya imajinasi yang tinggi;
k. Belajar
dengan dan cepat;
l. Mampu
mengemukakan dan mempertahankan pendapat;
m. Mampu
berkonsentrasi;
n. Tidak
memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.
2. Keragaman
Individu dalam Kepribadian
Para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam
memberikan rumusan tentang kepribadian, tergantung sudut pandang masing-masing.
Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport
(Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang
kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya
dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap.
Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri
individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian
kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan
penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral
maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri,
ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan
antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa
kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan
individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur
psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi
kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu,
terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya :
teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung,
teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori
Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi Individual
dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, teori The
Self dari Carl Rogers dan sebagainya.
Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan
tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup :
a. Karakter;
yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam
memegang pendirian atau pendapat.
b. Temperamen;
yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap
rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
c. Sikap; sambutan
terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen
d. Stabilitas
emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari
lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa
e. Responsibilitas
(tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan
yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau
melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
f. Sosiabilitas;
yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti :
sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain.
Setiap
individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari yang menunjukkan
ciri-ciri kepribadian yang sehat sampai dengan ciri-ciri kepribadian yang tidak
sehat. Dalam hal ini, Elizabeth Hurlock (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan
ciri-ciri kepribadian yang sehat atau tidak sehat, sebagai berikut :
KEPRIBADIAN YANG SEHAT
|
KEPRIBADIAN YANG TIDAK SEHAT
|
1. Mampu menilai diri sendiri secara realistik
2. Mampu menilai situasi secara realistik
3. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara
realistik
4. Menerima tanggung jawab
5. Kemandirian
6. Dapat mengontrol emosi
7. Berorientasi tujuan
8. Berorientasi keluar (ekstrovert)
9. Penerimaan sosial
10. Memiliki filsafat hidup
11. Berbahagia
|
1. Mudah marah
2. Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan
3. Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
4. Bersikap kejam
5. Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku
menyimpang
6. Kebiasaan berbohong
7. Hiperaktif
8. Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
9. Senang mengkritik/ mencemooh
10. Sulit tidur
11. Kurang rasa tanggung jawab
12. Sering mengalami pusing kepala
13. Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran
agama
14. Pesimis
15. Kurang bergairah
|
Berdasarkan uraian diatas kita dapat memahami bahwa
ketika seorang guru berhadapan dengan peserta didiknya di kelas, dia dihadapkan
dengan sejumlah keragaman kecakapan dan kepribadian yang dimiliki para peserta
didiknya. Oleh karena itu, seyogyanya guru dapat memperlakukan peserta didik
dan mengembangkan strategi pembelajaran, dengan memperhatikan aspek perbedaan
atau keragaman kecakapan dan kepribadian yang dimiliki peserta didiknya.
Sehingga peserta didik dapat mengembangkan diri sesuai dengan kecepatan belajar
dan karakteristik perilaku dan kepribadiannya masing-masing.
3. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Timbulnya Keragaman dalam Kecakapan dan Kepribadian
Timbulnya keragaman dalam kecakapan dan kepribadian
dipengaruhi oleh bebagai faktor. Kendati demikian, para ahli sepakat bahwa pada
dasarnya keragaman dalam kecakapan dan kepribadian dipengaruhi oleh tiga faktor
utama, yaitu :
a. Herediter;
pembawaan sejak lahir atau berdasarkan keturunan yang bersifat kodrati, seperti
: konstitusi dan struktur fisik, kecakapan potensial (bakat dan kecerdasan).
Seberapa kuat pengaruh keturunan sangat bergantung
pada besarnya kualitas gen yang dimiliki oleh orang tuanya (ayah atau ibu).
Berdasarkan percobaannya dengan cara mengawinkan bunga merah dengan bunga
putih, Gregor Mendel mengemukakan pandangannya, bahwa : (1) tiap-tiap sifat (traits)
makhluk hidup itu dikendalikan oleh keturunan; (2) tiap-tiap pasangan faktor
keturunan menentukan bentuk alternatif sesamanya, dan satu dari pada pasangan
alternatif itu memegang pengaruh besar; dan (3) pada waktu proses pembentukan
sel-sel kelamin, pasangan faktor keturunan itu memisah, dan tiap-tiap sel
kelaminnya menerima salah satu faktor dari pasangan keturunan itu. Hasil
percobaan Mendel ini menjelaskan kepada kita bahwa faktor keturunan memegang
peranan penting bagi perilaku dan pribadi individu.
Beberapa asas tentang keturunan di bawah ini akan
memberikan gambaran pembanding kepada kita tentang apa-apa yang diturunkan dari
orang tua kepada anaknya :
1) Asas Reproduksi
Menurut asas ini bahwa kecakapan (achievement)
dari masing-masing ayah atau ibunya tidak dapat diturunkan kepada anak-anaknya.
Sifat-sifat atau ciri-ciri perilaku yang diturunkan orang tua kepada anaknya
hanyalah bersifat reproduksi, yaitu memunculkan kembali mengenai apa yang sudah
ada pada hasil perpaduan benih saja, dan bukan didasarkan pada perilaku orang
tua yang diperolehnya melalui hasil belajar atau hasil berinteraksi dengan
lingkungannya.
2) Asas Variasi
Bahwa penurunan sifat pembawaan dari orang tua kepada
anak-anaknya akan bervariasi, baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Hal
ini disebabkan karena pada waktu terjadinya pembuahan komposisi gen
berbeda-beda, baik yang berasal dari ayah maupun ibu. Oleh karena itu, akan
didapati beberapa perbedaan sifat dan ciri-ciri perilaku individu dari orang
yang bersaudara, walaupun berasal dari ayah dan ibu yang sama, sehingga mungkin
saja kakaknya lebih banyak menyerupai sifat dan ciri-ciri perilaku ayahnya
sedangkan adiknya lebih banyak menyerupai sifat dan ciri-ciri perilaku ibunya
atau sebaliknya.
3) Asas Regresi
Filial
Terjadi pensurutan sifat atau ciri perilaku dari kedua
orangtua pada anaknya yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik dalam perpaduan
pembawaan ayah dan ibunya, sehingga akan didapati sebagian kecil dari
sifat-sifat ayahnya dan sebagian kecil pula dari sifat-sifat ibunya. Sedangkan
perbandingannya mana yang lebih besar antara sifat-sifat ayah dan ibunya ini
sangat tergantung kepada daya kekuatan tarik menarik dari pada masing-masing
sifat keturunan tersebut.
4) Asas Jenis
Menyilang
Menurut asas ini bahwa apa yang diturunkan oleh
masing-masing orang tua kepada anak-anaknya mempunyai sasaran menyilang jenis.
Seorang anak perempuan akan lebih banyak memilki sifat-sifat dan tingkah laku ayahnya,
sedangkan bagi anak laki-laki akan lebih banyak memilki sifat pada ibunya.
5) Asas
konformitas
Berdasarkan asas konformitas ini bahwa seorang anak
akan lebih banyak memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laku yang
diturunkan oleh kelompok rasnya atau suku bangsanya.Misalnya, orang Eropa akan
menyerupai sifat-sifat dan ciri-ciri tingkah laku seperti orang-orang Eropa
lainnya dibandingkan dengan orang-orang Asia.
b. Environment;
lingkungan tempat di mana individu itu berada dan berinteraksi, baik lingkungan
fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar.
Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang
menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan
itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa
melepaskan diri secara mutlak dari pada pengaruh lingkungan itu, karena
lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya.
Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri
individu, dapat kita ikuti pada uraian berikut :
1) Lingkungan
membuat individu sebagai makhluk sosial
Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya
meliputi orang-orang atau manusia-manusia lain yang dapat memberikan pengaruh
dan dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan
sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya.
Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia
pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnya
tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai manusia dalam
arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah laku dengan sesamanya.
Dapat kita bayangkan andaikata seorang anak manusia
yang sejak lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia
10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi
serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan
bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu
dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya
itu akan berlangsung sangat lambat sekali.
2) Lingkungan
membuat wajah budaya bagi individu
Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan
sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya.
Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah
manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala
apa yang tersedia di alam sekitarnya.
Lingkungan
memiliki peranan bagi individu, sebagai :
a) Alat untuk
kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial
individu. Contoh : air dapat dipergunakan untuk minum atau menjamu teman ketika
berkunjung ke rumah.
b) Tantangan
bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh : air
banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk
mengatasinya.
c) Sesuatu yang
diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan
rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya
untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya.
Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin
belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga
lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin.
d) Obyek
penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis.
Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah
lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin
sehingga dikamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation
yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga
sesuai dengan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri
yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh :
seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau
obat-obatan, namun lama-kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak menjadi
gangguan lagi, karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.
c. Maturity;
kematangan yang mengacu pada tahap-tahap atau fase-fase perkembangan yang
dijalani individu. Kematangan pada awalnya merupakan hasil dari adanya
perubahan-perubahan tertentu dan penyesuaian struktural pada diri individu,
seperti adanya kematangan jaringan-jaringan tubuh, otot, syaraf dan kelenjar.
Kematangan seperti ini disebut kematangan biologis. Kematangan
terjadi pula pada aspek-aspek psikis, seperti : kemampuan berfikir, emosi,
sosial, moral, dan kepribadian, religius. Kematangan aspek psikis ini
diperlukan adanya latihan dan belajar tertentu.
Ketiga faktor tersebut di atas dapat dibuat formulasi
sebagai berikut :
P= f (H.E.M)
|
|
|
|
P= Pribadi
atau perilaku
f = fungsi
H= Herediter
(pembawaan)
E=Environment (lingkungan, termasuk belajar)
M=Maturity (tingkat kematangan)
No comments:
Post a Comment